BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Minggu, 22 November 2009

Sunatan Massal Palembang

(Palembang, 14 April 2007) Sebanyak 100 anak dari keluarga tidak mampu dan anak yatim piatu yang tersebar di Kecamatan Kertapati, Sabtu (14/4) dikhitan secara massal. Ketua KNPI Kecamatan Kertapati Ferry Sanjaya SPd mengatakan khitanan massal ini merupakan bentuk kepedulian KNPI dalam turut menyukseskan Program Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang.

Walikota Palembang, Ir H Eddy Santana Putra, MT dalam kata sambutannya mengatakan sangat banyak sekali pelayanan-pelayanan yang akan ditingkatkan oleh Pemkot Palembang khususnya terhadap masyarakat kurang mampu. Untuk Kelurahan Ogan Baru Kecamatan Kertapati menurut Walikota pelayanan yang sangat perlu ditingkatkan adalah pelayanan kesehatan, penyediaan sarana air bersih dan puskesmas serta penataan di wilayah Kecamatan Kertapati.

"Pelayanan kesehatan penting sekali dilaksanakan dalam upaya menjadikan masyarakat Palembang sehat dan berkualitas," katanya.

Kepada Pengurus DPD KNPI Kota Palembang Walikota berpesan untuk lebih meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat dalam membangun generasi muda dengan baik serta meningkatkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas.

Pada kesempatan yang sama Pemerintah Kota Palembang melalui Walikota menyerahkan bantuan berupa 1 unit mobil untuk operasional DPD KNPI yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas kerja DPD KNPI Kota Palembang. (*)

Karapan Sapi Madura


Kerapan atau karapan sapi adalah satu istilah dalam bahasa Madura yang digunakan untuk menamakan suatu perlombaan pacuan sapi. Ada dua versi mengenai asal usul nama kerapan. Versi pertama mengatakan bahwa istilah “kerapan” berasal dari kata “kerap” atau “kirap” yang artinya “berangkat dan dilepas secara bersama-sama atau berbondong-bondong”. Sedangkan, versi yang lain menyebutkan bahwa kata “kerapan” berasal dari bahasa Arab “kirabah” yang berarti “persahabatan”. Namun lepas dari kedua versi itu, dalam pengertiannya yang umum saat ini, kerapan adalah suatu atraksi lomba pacuan khusus bagi binatang sapi. Sebagai catatan, di daerah Madura khususnya di Pulau Kangean terdapat lomba pacuan serupa yang menggunakan kerbau. Pacuan kerbau ini dinamakan mamajir dan bukan kerapan kerbau.

Asal usul kerapan sapi juga ada beberapa versi. Versi pertama mengatakan bahwa kerapan sapi telah ada sejak abad ke-14. Waktu itu kerapan sapi digunakan untuk menyebarkan agama Islam oleh seorang kyai yang bernama Pratanu. Versi yang lain lagi mengatakan bahwa kerapan sapi diciptakan oleh Adi Poday, yaitu anak Panembahan Wlingi yang berkuasa di daerah Sapudi pada abad ke-14. Adi Poday yang lama mengembara di Madura membawa pengalamannya di bidang pertanian ke Pulau Sapudi, sehingga pertanian di pulau itu menjadi maju. Salah satu teknik untuk mempercepat penggarapan lahan pertanian yang diajarkan oleh Adi Polay adalah dengan menggunakan sapi. Lama-kelamaan, karena banyaknya para petani yang menggunakan tenaga sapi untuk menggarap sawahnya secara bersamaan, maka timbullah niat mereka untuk saling berlomba dalam menyelesaikannya. Dan, akhirnya perlombaan untuk menggarap sawah itu menjadi semacam olahraga lomba adu cepat yang disebut kerapan sapi.

Macam-macam Kerapan Sapi
Kerapan sapi yang menjadi ciri khas orang Madura ini sebenarnya terdiri dari beberapa macam, yaitu:
1. Kerap Keni (kerapan kecil)
Kerapan jenis ini pesertanya hanya diikuti oleh orang-orang yang berasal dari satu kecamatan atau kewedanaan saja. Dalam kategori ini jarak yang harus ditempuh hanya sepanjang 110 meter dan diikuti oleh sapi-sapi kecil yang belum terlatih. Sedangkan penentu kemenangannya, selain kecepatan, juga lurus atau tidaknya sapi ketika berlari. Bagi sapi-sapi yang dapat memenangkan perlombaan, dapat mengikuti kerapan yang lebih tinggi lagi yaitu kerap raja.

2. Kerap Raja (kerapan besar)
Perlombaan yang sering juga disebut kerap negara ini umumnya diadakan di ibukota kabupaten pada hari Minggu. Panjang lintasan balapnya sekitar 120 meter dan pesertanya adalah para juara kerap keni.

3. Kerap Onjangan (kerapan undangan)
Kerap onjangan adalah pacuan khusus yang para pesertanya adalah undangan dari suatu kabupaten yang menyelenggarakannya. Kerapan ini biasanya diadakan untuk memperingati hari-hari besar tertentu.

4. Kerap Karesidenen (kerapan tingkat keresidenan)
Kerapan ini adalah kerapan besar yang diikuti oleh juara-juara kerap dari empat kabupaten di Madura. Kerap karesidenan diadakan di Kota Pamekasan pada hari Minggu, yang merupakan acara puncak untuk mengakhiri musim kerapan.

5. Kerap jar-jaran (kerapan latihan)
Kerapan jar-jaran adalah kerapan yang dilakukan hanya untuk melatih sapi-sapi pacuan sebelum diturunkan pada perlombaan yang sebenarnya.

Pihak-pihak yang Terlibat dalam Permainan Kerapan Sapi
Kerapan sapi adalah salah satu jenis permainan rakyat yang banyak melibatkan berbagai pihak, yang diantaranya adalah: (1) pemilik sapi pacuan; (2) tukang tongko (orang yang bertugas mengendalikan sapi pacuan di atas kaleles); (3) tukang tambeng (orang yang menahan tali kekang sapi sebelum dilepas); (4) tukang gettak (orang yang menggertak sapi agar pada saat diberi aba-aba dapat melesat dengan cepat); (5) tukang tonja (orang yang bertugas menarik dan menuntun sapi); dan (6) tukang gubra (anggora rombongan yang bertugas bersorak-sorak untuk memberi semangat pada sapi pacuan).

Jalannya Permainan
Sebelum kerapan dimulai semua sapi-kerap diarak memasuki lapangan. Kesempatan ini selain digunakan untuk melemaskan otot-otot sapi, juga merupakan arena pamer keindahan pakaian dan hiasan dari sapi-sapi yang akan dilombakan. Setelah parade selesai, pakaian dan seluruh hiasan itu mulai dibuka. Hanya pakaian yang tidak mengganggu gerak tubuh sapi saja yang masih dibiarkan melekat.

Setelah itu, dimulailah lomba pertama untuk menentukan klasemen peserta. Seperti dalam permainan sepak bola, dalam babak ini para peserta akan mengatur strategi untuk dapat memasukkan sapi-sapi pacuannya ke dalam kelompok “papan atas” agar pada babak selanjutnya (penyisihan), dapat berlomba dengan sapi pacuan dari kelompok “papan bawah”.

Selanjutnya adalah babak penyisihan pertama, kedua, ketiga dan keempat atau babak final. Dalam babak penyisihan ini, permainan memakai sistem gugur. Dengan perkataan lain, sapi-sapi pacuan yang sudah dinyatakan kalah, tidak berhak lagi ikut dalam pertandingan babak selanjutnya. Sedangkan, bagi sapi pacuan yang dinyatakan sebagai pemenang, nantinya akan berhadapan lagi dengan pemenang dari pertandingan lainnya. Begitu seterusnya hingga tinggal satu pemain terakhir yang selalu menang dan menjadi juaranya.

Nilai budaya
Permainan kerapan sapi jika dicermati secara mendalam mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu adalah: kerja keras, kerja sama, persaingan, ketertiban dan sportivitas.

Nilai kerja keras tercermin dalam proses pelatihan sapi, sehingga menjadi seekor sapi pacuan yang mengagumkan (kuat dan tangkas). Untuk menjadikan seekor sapi seperti itu tentunya diperlukan kesabaran, ketekunan dan kerja keras. Tanpa itu mustahil seekor sapi aduan dapat menunjukkan kehebatannya di arena kerapan sapi.

Nilai kerja sama tercermin dalam proses permainan itu sendiri. Permainan kerapan sapi, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, adalah suatu kegiatan yang melibatkan berbagai pihak. Pihak-pihak itu satu dengan lainnya saling membutuhkan. Untuk itu, diperlukan kerja sama sesuai dengan kedudukan dan peranan masing-masing. Tanpa itu mustahil permainan kerapan sapi dapat terselenggara dengan baik.

Nilai persaingan tercermin dalam arena kerapan sapi. Persaingan menurut Koentjaraningrat (2003: 187) adalah usaha-usaha yang bertujuan untuk melebihi usaha orang lain dalam masyarakat. Dalam konteks ini para peserta permainan kerapan sapi berusaha sedemikian rupa agar sapi aduannya dapat berlari cepat dan mengalahkan sapi pacuan lawan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, masing-masing berusaha agar sapinya dapat melakukan hal itu sebaik-baiknya. Jadi, antarpeserta bersaing dalam hal ini.

Nilai ketertiban tercermin dalam proses permainan kerapan sapi itu sendiri. Permainan apa saja, termasuk kerapan sapi, ketertiban selalu diperlukan. Ketertiban ini tidak hanya ditunjukkan oleh para peserta, tetapi juga penonton yang mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat. Dengan sabar para peserta menunggu giliran sapi-sapi pacuannya untuk diperlagakan. Sementara, penonton juga mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Mereka tidak membuat keonaran atau perbuatan-perbuatan yang pada gilirannya dapat mengganggu atau menggagalkan jalannya permainan.

Gotong Royong




Gotong-royong sebuah definisi bangsa Indonesia yang selama ini menjadi monumen penting yang selalu diagung-agungkan bangsa Indonesia. Bahkan tetap dijadikan wacana utama dalam tiga periode politik bangsa ini. Sejarah kemerdekaan telah mencatat bahwa kata gotong-royong telah menjadi elemen penting dalam kehidupan bernegara Indonesia. Di zaman Orde Lama gotong-royong merupakan “kata suci�? yang selalu dikumandangkan oleh Sukarno, bahkan pernah dalam salah satu pidatonya, Sukarno menyatakan bahwa bila Pancasila diperas menjadi Ekasila, maka Ekasila itu adalah gotong-royong. Di zaman Orde Baru, walaupun tak segencar di zaman Orla, tetap saja gotong-royong menjadi salah satu kata penting di rezim pembangunan Suharto.

Berbagai kenyataan diungkapkan untuk mendukung pendapat bahwa gotong-royong adalah sifat dasar yang dimiliki bangsa Indonesia. Mulai dari sistem pertanian secara bersama, acara kenduri, mebangun rumah, dan segala macam kegiatan kemasyarakatan yang telah kita sama-sama baca dan pelajari sejak SD, semuanya menunjukkan bahwa gotong-royong sudah ada sejak zaman prasejarah di bumi Indonesia. Ya, memang sejak SD kita telah diberikan doktrin bahwa gotong-royong adalah sifat dasar bangsa Indonesia yang menjadi unggulan bangsa ini dan tidak dimiliki bangsa lain.

Namun saya melihat kenyataan lain, saya mulai meragukan gotong-royong ada di dalam jiwa bangsa Indonesia. Kenyataan yang muncul dengan adanya jurang kemiskinan yang dalam, pengangguran, kerusuhan, krisis ekonomi, semakin membuat saya ragu, apakah benar bangsa ini memiliki jiwa dan semangat gotong-royong. Jikalau gotong-royong diartikan sebagai kerjasama, bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan, maka saya akan sangat ragu bahwa bangsa ini memiliki jiwa gotong-royong. Kalaulah gotong-royong itu ada, pastilah tidak ada jurang kemiskinan yang dalam, karena si kaya akan senatiasa membantu si miskin untuk meningkatkan taraf hidupnya. Pastilah tidak ada kerusuhan masa, yang dipicu adanya ketidakadilan, karena setiap tetidakadilan akan mustahil muncul dari jiwa gotong-royong. Demikian pula dengan krisis ekonomi dan krisis-krisis lainnya.

Pendapat lain muncul. Jiwa gotong-royong sudah mulai terkikis akibat masuknya budaya individualisme dan materialisme dari Barat. Semula saya setuju dengan pandangan ini, namun belakangan saya mulai berpikir bahwa pedapat ini cuma sekedar apologi yang mencoba membenarkan pendapat pertama. Seandainya benar jiwa gotong-royong itu ada semenjak zaman dahulu, saya yakin tidak mungkin bangsa Indinesia dijajah sampai berabad-abad lamanya. Saya yakin bila jiwa gotong-royong itu ada pada bangsa Indonesia maka pastilah bangsa ini tidak pernah mau hidup terjajah. Nyatanya selalu butuh seorang tokoh untuk menggerakkan perjuangan. Itupun biasanya harus dipicu dengan kejadian-kejadian yang bersifat ekonomis. Jarang sekali seorang raja yang mendapatkan “fasilitas�? dari penjajah mau “memberontak�?, walupun alam dan rakyatnya dikuras dan diperas habis-habisan. Biasanya raja yang memberontak dipicu oleh pengambilan hak-hak istimewanya oleh penjajah, atau “fasilitas�? penjajah yang kurang memenuhi hasratnya –namun sekali lagi rakyatlah yang jadi korban ambisi sang raja, rakyat berperang sampai merkubang darah, sementara raja kalau kalah paling cuma ditangkap dan dibuang.

Sementara rakyat pun demikian, walaupun saudaranya ditindas, kebanyakan mereka enggan membantu bila mereka sendiri telah mendapatkan “rasa aman�? dari penjajah. Buktinya kebanyakan “centeng�? dan mandor rodi, tanam paksa, dan sebagainya, adalah pribumi. Saya melihat bahwa kultur yang menonjol pada bangsa ini adalah kultur feodalisme. Dimana seorang penguasa akan dapat dengan bebas memenuhi hasrat ekonominya, sementara rakyat kecil secara kultural “nrimo�? saja dengan perlakuan penguasa. Kebanyak rakyat enggan memperjuangkan hak-haknya. Apalagi memperjuangkan hak saudaranya. Biarlah saja mereka menderita asal kita tidak, asal kita masih bisa makan, tidak apa-apa membayar upeti, kultur ini lah yang dominan dimiliki bangsa ini. Dimana pembelaan terhadap penindasan penguasa adalah sesuatu yang tabu. Penguasa adalah “tuhan�? yang harus di dengar dan ditaati kata-kata dan perintahnya. Walau pun harus berdarah-darah perintah pengusa harus ditaati, karena ketaatan kita kan memberikan kredit kepada kita, siapa tahu nati bisa jadi menteri atau punggawa kerajaan. Atau setidaknya dapat sedikit bagian tanah dan jadi penguasa kecil –yang berarti pula kemudian dapat menindas bawahannya.

Gotong-royong yang dimiliki bangsa ini hanyalah gotong-royong yang bersifat aman dan menguntungkan bersama. Sementara gotong-royong yang “berdarah-darah�? untuk menolak penindasan adalah sesuatu yang tabu. Gotong-royong yang dimiliki bangsa ini adalah gotong-royong yang harus mempunyai feed back, mari kita bersama bergotong-royong mengadakan kenduri, agar kelak saat kita punya hajat maka orang lain pun akan membantu kita. Mari kita bergotong-royong membuat pengairan sawah, agar sawah kita pun dapat diairi. Mari kita bergotong-royong membangun balai desa, agar nanti kita juga dapat nonton teve di sana. Buat apa kita bersama-sama mengentaskan orang-orang miskin, nanti mereka malah menjadi saingan dagang kita. Buat apa kita sibuk-sibuk mengurusi orang lain yang tanahnya diambil paksa oleh penguasa, yang penting kita selamat, kalau ikut-ikutan nanti malah kena getahnya. Buat apa ikut-ikutan memprotes kebijakan sekolah, nanti malah dicap anak nakal dan dapat nilai jelek. Buat apa ikut-ikutan demo, nanti malah dipentung polisi dan ditahan, toh demo juga tidak selalu didengar, lagipula kebijakan yang diprotes itu kan tidak ada sangkut-pautnya dengan kita.

Sumbangan Gempa Bumi Sumatra Barat (PADANG)


Kita semua pasti sangat shock dan prihatin dengan bencana yang secara bertubi-tubi baru saja menimpa negara kita.

Saya tidak tahu, apakah ini teguran dari Tuhan atau bukan, yang jelas, fenomena alam yang terjadi dibanyak tempat di negara kita tercinta ini membuat batin kita tersentuh, dada kita terasa sesak oleh rasa pedih yang mendalam, membayangkan kita yang mengalami bencana ini.

Mari posisikan diri kita menjadi mereka... kehilangan anggota keluarga yang kita cintai, mengais puing-puing reruntuhan bangunan, hanya supaya kita bisa menemukan serpihan tubuh saudara/ayah/ibu/keluarga kita tercinta... meski itu hanya sekedar potongan tangan atau kakinya, supaya kita bisa menguburkannya dengan layak dan memberikan penghormatan terakhir bagi mereka, dan menghantarkan mereka keperistirahatannya yang terakhir dengan iringan doa-doa.

Belum lagi kering air mata kita mengais puing2, hati dan pikiran kita harus terpecah dengan keluarga yang masih dirawat di RS akibat luka berat yang diderita karena keruntuhan puing bangunan. Mereka yang terluka dan menderita sekarang ada ratusan korban... RATUSAN!! dan banyak dari mereka yang sekarang menanti saat untuk dapat giliran dioperasi.

Kendalanya, terlalu banyak korban yang harus ditangani, tidak sebanding dengan RS yang ada, tenaga medis yang ada, dan tentu saja darah untuk operasi, juga tidak ada.

Oleh karena itu, tidak usah berpanjang2 lagi saya menulis, rasanya tanpa ini pun anda semua sepakat dengan saya, bahwa kondisi mereka sudah sangat memilukan hati, dan mereka butuh uluran tangan kita.

Apa yang kita bisa lakukan, silahkan lakukan. Saya yakin sekali teman2 semua sudah berbuat banyak untuk sahabat2 kita di padang... Tulisan ini hanya sekedar kembali mengingatkan untuk sedikit berbuat sesuatu (lagi) untuk saudara2 kita disana.

Untuk menjadi tenaga medis, mungkin kita tidak bisa, jadi team SAR, juga mungkin kita tidak akan mampu. Tapi ada yg bisa kita lakukan. MENDONORLAH... karena darah kita sangat berarti buat semua korban gempa (tidak hanya yang di padang, tapi diseluruh indonesia), yang saat ini sedang menanti giliran untuk bisa dioperasi.

Ada yang patah kaki, patah tangan, retak tengkorak kepala, tulang rusuk patah, bahkan ada yang sampai menusuk ke paru-parunya. Darah kita, pasti bisa menolong meski hanya sekantong darah.

Soal distribusi, jangan takut, karena PMI sudah punya sistem delivery yang baik (sekalilagi saya tidak bekerja untuk PMI, saya menulis ini, menggugah teman-teman untuk mendonor, karena saya peduli, dan saya yakin sama andapun sama pedulinya dengan saya).

So, Buat kita yang jauh, selain mendonor, jika punya sedikit rejeki lebih, SUMBANGKANLAH dana anda pada instansi2 yang resmi. BFL bukannya tidak mau membantu mengorganisir sumbangan dana anda, tapi mengingat BFL bukanlah organisasi, dan tidak ada rekening atas nama organisasi BFL, maka akan lebih baik jika sumbangan anda disalurkan pada instansi2 resmi, supaya penyalurannya lebih terorganisir.


Akhir kata, mari jadikan bencana ini, sebagai teguran dari Tuhan untuk lebih mendekatkan diri pada-NYA, sekaligus KESEMPATAN untuk saling menolong, dan menjadikan hidup kita ini, berarti buat orang lain...

Minggu, 01 November 2009

Musium Pusat Kebudayaan Indonesia




Budaya Indonesia sangat banyak dan bermacam-macam,karena Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki beribu-ribu pulau,sehingga banyak sekali budaya dan kesenian dari setiap daerah yang pantas tuk di acungkan jempol.


Indonesia memiliki karya seni dari Batik Jawa, Barongsai Bali Rumah Adat, dll...

Hasil dari kunjungan saya ke Musium Nasional banyak memberi pengetahuan yang cukup baik,sehingga membuat saya menyadari betapa indahnya ke aneka ragaman budaya Indonesia..

Informasi yang saya dapat sebagai berikut:

- Arca Amoghapasha
Arca ini merupakan perwujudan Krtanegara dihadiahkan oleh raja Singosari tersebut kepada seorang bangsawan di Sumatra sebagai hadiah perkawinan (Rambahan, Padang Roco, Sumatra Selatan)

- Arca Pendeta
Arca ini adalah seorang Pendeta Budha sebagai Fahhogata Ratnasambhawa penguasa sebelah selatan. ( Kediri, Jawa Timur)

BATIK

Alat pembuatan batik
- Gawangan
* Kayu, Cat, Prada
* Jawa
Gawangan adalah alat untuk menyangkutkan dan membentangkan kain.
- Canting
* Kayu, Tembaga
* Kedu, Jawa Tengah
Canting berfungsi untuk menyendo malam cair dan untuk menggambar di atas kain melalui saluran kecil

- Saringan Lilin
* Banbu
* Kedu, Jawa Tengah
Alat untuk menyaring lilin panas yang banyak kotorannya.

- Wajan
* Tanah Liat
* Kedu, Jawa Tengah
Wadah untuk melelehkan malam atau lilin.

- Bedul
* Batu, Bambu, Kawat
* Kedu, Jawa Tengah
Bedul berfungsi untuk menahan kain yang baru di batik.


berikut saya lampirkan foto hasil kunjungan saya ke Musium Nasional:
Please posting


Minggu, 06 September 2009

Malaysia Merebut Hak Indonesia




Sentimen anti-Malaysia di Indonesia merupakan rasa ketidaksenangan kolektif pada masyarakat Indonesia atas beberapa hal yang berkaitan dengan Malaysia. Pendorongnya dapat berupa perselisihan politik, sosial, ataupun budaya. Sentimen ini pertama kali muncul pada awal pembentukan Malaysia tahun 1957, yang dikobarkan oleh Sukarno, presiden Indonesia waktu itu, yang menganggap Malaysia sebagai alat-imperialisme Britania dan klaim Indonesia atas wilayah Sarawak dan Sabah. Setelah sempat mereda pada masa Orde Baru, sentimen ini kembali muncul pada awal abad ke-21, yang lebih didasari pada perselisihan warisan budaya dan kepemilikan wilayah. Yang menarik adalah, sentimen anti-Malaysia tidak mengarah pada sentimen anti-Melayu sebagaimana yang terjadi di Singapura dan Thailand.

Konfrontasi Indonesia-Malaysia 1957-1968


Konfrontasi Indonesia-Malaysia lebih bersifat politik dan dipicu oleh prasangka dari pihak Indonesia yang menganggap Federasi Malaysia dibentuk sebagai alat-imperialisme Britania (atau Barat) untuk menangkal politik Indonesia masa itu yang kekiri-kirian. Semenjak kejatuhan rezim Sukarno, presiden pengganti Indonesia, Suharto, segera menghapus politik ini dan menjalin hubungan baik dengan Malaysia dan Singapura. Walaupun demikian, peristiwa ini meninggalkan jargon yang tidak pernah hilang dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia: "Ganyang Malaysia".


Sentimen anti-Malaysia abad ke-21

Sentimen anti-Malaysia di Indonesia kembali muncul di awal abad ke-21, terutama sebagai akibat banyaknya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang umumnya bekerja sebagai buruh rendahan di Malaysia.[1]

Latar belakang

Semenjak gelombang besar pekerja Indonesia yang datang ke Malaysia pada tahun 1980-an, yang pada tahun 2007 telah mencapai 90% dari seluruh pekerja asing di negara tersebut, [2] atau mencapai 1,5 juta orang,[3] timbul pandangan di kalangan generasi baru Malaysia yang merendahkan orang Indonesia.[4] Salah satu penyebabnya adalah berbagai pemberitaan di pers Malaysia yang secara terbuka menyebutkan orang Indonesia atau "Indon" sebagai pelaku berbagai tindakan kriminal. Akibatnya, tumbuh konotasi negatif atas penggunaan kata tersebut, yang dianggap sebagai penghinaan.[4] Di Malaysia kemudian tumbuh anggapan bahwa orang Indonesia adalah sumber keonaran dan perilaku "kurang beradab", yang kemudian terekspresi dalam perlakuan orang Malaysia terhadap orang Indonesia.

Keadaan tidak membaik dengan keluarnya keputusan Mahkamah Internasional yang memberikan kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada tanggal 17 Desember 2002 telah menimbulkan kekecewaan di pihak Indonesia, [5] bahkan hingga tingkat DPR. Rasa ketidaksukaan ini kemudian meningkat pesat setelah terjadi rentetan peristiwa yang dipandang Indonesia sebagai tindakan arogan sepihak oleh Malaysia, seperti kasus perselisihan di blok Ambalat yang memaksa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta TNI untuk "menjaga kedaulatan wilayah Indonesia" (2005),[5] penggunaan lagu "Rasa Sayange" pada kampanye promosi pariwisata Malaysia, pemukulan atlet karate Indonesia oleh petugas keamanan Malaysia (Agustus 2007),[3] dan klaim reog Ponorogo (disebut sebagai "barongan") sebagai kesenian asli Malaysia (2008).

Serentetan aksi terorisme berupa rangkaian pemboman sejumlah bangunan di Jakarta dan Bali, serta berbagai rencana pemboman di beberapa tempat lainnnya yang dapat digagalkan, sejak tahun 2000 hingga 2005 serta tahun 2009, juga menjadi alasan bagi beberapa kelompok{[siapa?] untuk mengangkat isu teori konspirasi dari Malaysia.[rujukan?] Isu ini diangkat karena dalang pengeboman tersebut dilakukan oleh dua warga negara Malaysia, Azahari dan Noordin M. Top, yang adalah warga negara Malaysia. Teori yang dikembangkan adalah bahwa keduanya adalah agen yang ditanam di Indonesia untuk membuat kekacauan.[rujukan?] Walaupun tidak banyak[siapa?] yang mempercayai "teori" ini, stigma telah ditimbulkan oleh anggapan demikian.

Pada kasus Ambalat, situasi yang relatif serius terjadi karena pada tanggal 7 Maret 2005 ditindaklanjuti oleh TNI dengan pengiriman delapan kapal tempur yang didukung oleh empat pesawat tempur jet F-16 oleh Armada Wilayah Timur di Balikpapan. Pada kejadian yang lain, usaha-usaha klarifikasi dilakukan melalui komunikasi politik di antara pejabat kedua negara. Pada kasus "Rasa Sayange", protes muncul dari kalangan masyarakat Maluku (sebagai kelompok etnis yang mengklaimnya) dan anggota parlemen (DPR).

Ekspresi ketidaksukaan di Indonesia

Ekspresi ketidaksukaan dinyatakan dalam berbagai cara. Demonstrasi sempat terjadi di depan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, khususnya setelah kasus Ambalat terjadi. Akibat protes dari Indonesia mengenai lagu Rasa Sayange ditanggapi secara dingin, muncul berbagai tulisan kasar di berbagai forum internet. Beberapa blog juga menuliskan kekecewaannya. Bahkan, iklan suatu obat tradisional menyinggung masalah ini. Malaysia dicitrakan sebagai "pencuri" kebudayaan Indonesia. Dari sini kemudian muncul jargon sarkastik "Malingsia" untuk menegaskan bahwa orang Malaysia hanya bisa mencuri (maling) karya seni orang lain (Indonesia). Istilah "Malon" (dengan konotasi negatif) juga diinvensi sebagai counterpart atas istilah 'Indon' yang dipakai di Malaysia. Kenyataan bahwa banyak terjadi kesamaan warisan budaya (seperti keris, berbagai jenis makanan, dan beberapa lagu daerah) dianggap sebagai "pencurian" yang dilakukan pihak Malaysia. Hal ini diperparah dengan konsep Ketuanan Melayu yang diterapkan di Malaysia, yang memberi batasan "Melayu" adalah semua suku bangsa dengan ciri fisik dan agama yang sama dengan orang Melayu asli Malaysia, termasuk juga apabila sebenarnya seseorang berasal dari suku bangsa Jawa, Madura, Aceh, atau Minangkabau.

Dalam dunia maya, berbagai forum dan blog menyinggung perlakuan Malaysia terhadap orang Indonesia. Beberapa hacker bahkan melakukan defacing terhadap beberapa halaman muka sejumlah laman lembaga-lembaga Malaysia.

Dari berbagai rentetan kasus yang melibatkan kedua negara, kasus Ambalat dapat dikatakan merupakan puncaknya. Dari berbagai aksi demo massa di Indonesia, aksi massa tak lagi mengangkat kasus Ambalat semata, namun telah bergeser menjadi sentimen anti-Malaysia. Berbagai kelompok pemuda di berbagai daerah di Indonesia bahkan mengaku siap menjadi relawan apabila terjadi perang antara Indonesia dan Malaysia, beberapa di antaranya malah melakukan aksi jempol darah sebagai simbol kesetiaan mereka terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.